Jumat, 28 November 2014

20 Cara Menjadi Orang Yang Menyenangkan

jadi orang menyenangkanKita semua tahu, menjadi orang yang menyenangkan lebih baik daripada menjadi orang yang menyebalkan. Kita sadar dengan hal itu, tapi kadang kita tidak tahu hal apa saja yang membuat diri kita begitu menyebalkan bagi orang lain. Sikap atau tindakan yang menurut kita benar, belum tentu orang lain memiliki pendapat yang sama.

Menjadi orang yang menyenangkan, selain untuk menambah teman, juga bisa membuat semua orang merasa nyaman. Bahkan banyak yang suka atau naksir diri kita. Itu mungkin saja selama ada faktor pendukungnya. Tidak perlu panjang lebar, langsung saja madjongke.com bahas tentang cara menjadi orang yang menyenangkan dan disukai banyak orang.

Cara menjadi orang yang menyenangkan

1. Senyum
Murah senyum pada semua orang. Semua tahu hal ini bisa membuat kita tampak menyenangkan bagi orang lain. Sehingga madjongke.com tidak perlu banyak kata untuk bagian ini.

2. Peduli
Peduli dengan apa yang terjadi pada orang lain. Untuk bisa jadi orang yang menyenangkan, jangan salah sasaran. Sebab ada beberapa orang yang tidak membutuhkan bahkan menghindari hal seperti itu. Intinya, peduli dengan orang yang pantas dan memang membutuhkan kepedulian kita.

3. Menjadi pendengar yang baik
Menjadi pendengar yang baik bagi orang lain. Perhatikan dengan baik ketika orang lain mengatakan sesuatu. Meski hanya dengan menganggukan kepala, setidaknya tampak memperhatikan dan tidak bersikap cuek terhadap apa yang dia utarakan.

4. Tunjukan kebahagiaan
Jadi orang yang selalu tampak bahagia. Meskipun ada masalah, jangan tampak murung atau sedih. Tunjukan semangat bahwa kehidupan yang sedang dijalani adalah suatu kenikmatan.

5. Bersikap ramah
Bersikap ramah pada orang yang dikenal. Tunjukan rasa hormat ketika memberikan sapaan. Ini tentu saja, menjadi cara terpenting untuk bisa menjadi orang yang menyenangkan.

6. Tidak membicarakan keburukan orang
Jika tidak ditanya untuk suatu keperluan yang cukup penting, jangan memulai apalagi membicarakan keburukan orang lain. Kalau memang terpaksa, sebaiknya seperlunya saja. Jangan berlarut-larut apalagi sampai membuatnya menjadi sesuatu yang menyenangkan.

7. Tampil menarik
Tampil menarik sesuai keadaan sekitar. Perbaiki penampilan sampai batas kemampuan. Perlu diingat, tetap sesuaikan keadaan agar tidak tampak berlebihan. Perhatikan cara berpakaian dan kebersihan. Ini cukup berpengaruh pada masalah ini.

8. Sering berbaur
Sering berbaur dan berkumpul pada kelompok tertentu. Lebih umum terhadap masyarakat sekitar. Libatkan diri sendiri pada acara-acara tertentu. Jangan terlalu menutup diri terutama pada orang-orang terdekat.

9. Merendah
Merendah dan tidak menyombongkan diri. Sebab sikap sombong tidak membuat orang lain merasa senang. Rasa bangga memang ada tapi bangga terhadap dan oleh diri sendiri.

10. Mengalah
Mengalah untuk menang, atau mengalah bukan berarti kalah. Sering mengalah agar menjadi orang yang menyenangkan. Tapi, untuk keadaan tertentu seperti masalah serius, merugikan, atau dengan orang yang sifatnya menindas atau melunjak, jangan lakukan hal yang satu ini.

11. Percaya diri
Percaya diri dalam keadaan apapun. Jangan malu atau minder dengan apa yang ada pada diri sendiri.

12. Jujur
Jujur dan tidak suka berbohong terutama untuk masalah besar. Selama itu untuk kebaikan, terus menjadi orang yang jujur bukanlah tindakan yang buruk. Selain bisa menjadi orang yang menyenangkan. Kejujuran juga bisa membuat orang yakin dan percaya terhadap apa yang kita bicarakan atau tunjukan.

13. Menghargai
Siapapun, dimanapun, dan kapanpun, bisa menghargai orang lain. Tidak peduli dia orang miskin, jelek, kecil, tidak berguna, dll kita tetap menghargai bahwa dia adalah seorang manusia. Pantas diperlakukan sama dan dihargai selayaknya orang-orang pada umumnya.

14. Bisa menyesuaikan diri
Bisa menyesuaikan diri terhadap perubahan yang ada. Selain itu, bisa juga menyesuaikan diri dengan kelompok atau lingkungan yang baru. Jangan menjadi asing meskipun sebenarnya hal itu adalah sebuah kenyataan.

15. Sopan
Sopan dari tindakan dan sikap. Tunjukan bahwa diri sendiri memiliki kepribadian yang baik. Tidak memalukan bagi orang lain karena sikap yang kurang sopan untuk menjadi orang yang menyenangkan.

16. Membuka diri
Lebih bersikap terbuka bagi orang lain. Tidak menutup diri dari kehidupan luar.

17. Berpikir positif
Selalu berpikir positif dan juga mengimbangi hal seperti ini dengan tindakan positif juga. Orang lain akan merasa senang dan diri sendiri juga akan lebih nyaman.

18. Mandiri
Bisa menjadi orang yang mandiri dan tidak terlalu bergantung pada orang lain. Bisa mengurus banyak hal sendiri dengan baik.

19. Bertanggung jawab
Agar jadi orang yang menyenangkan menurut orang lain, jadilah orang yang bisa bertanggung jawab. Itu jelas berpengaruh besar terhadap pandangan orang sekitar. Sehingga menjadi orang yang bertanggung jawab, bisa dijadikan cara untuk membuat diri sendiri jadi orang yang menyenangkan.

20. Berbagi
Jangan malas untuk berbagi. Apapun bentuknya wajib melakukan hal ini jika ingin jadi orang yang menyenangkan. Tidak harus berupa barang, ilmu atau pengalaman pribadi juga termasuk. Yang lebih sederhana lagi, berbagi artikel ini pada orang lain.

INILAH MAKNA BAHAGIA

Semalam saya di UIA Kuantan – menjelaskan apa, kenapa dan bagaimana membentuk golongan Mukmin Profesional. Dalam sesi soal jawab kemudiannya, seorang pelajar telah bertanya apakah itu bahagia? Oleh kerana soalan terlalu banyak, dan penjelasan memerlukan masa yang agak panjang, maka saya berjanji untuk menjelaskannya dalam blog genta-rasa ini.
Untuk anak-anak yang bertanya, dan untuk saudara/i yang pengunjung blog yang setia, saya hulurkan tulisan ringkas ini sebagai jawapan kepada pertanyaan, apa itu bahagia?
INILAH MAKNA BAHAGIA…
Bahagia itu fitrah tabie manusia. Semua orang ingin bahagia. Jika ada manusia yang berkata, alangkah bahagianya kalau aku tidak bahagia, dia layak dihantar ke Hospital Bahagia. Kenapa? Sudah tentu orang itu tidak siuman lagi. Manusia yang siuman sentiasa ingin dan mencari bahagia. Bahkan, apa sahaja yang diusahakan dan dilakukan oleh manusia adalah untuk mencapai bahagia.

• Bahagia itu relatif?

Malangnya, keinginan manusia untuk bahagia sering tidak kesampaian. Ini disebabkan ramai manusia tidak tahu apa makna bahagia sebenarnya dan mereka juga tidak tahu bagaimanakah caranya untuk mendapatkannya. Jika kita mencari sesuatu yang tidak diketahui dan dikenali, sudah pasti kita tidak akan menemuinya. Oleh itu, usaha mencari kebahagiaan itu mestilah bermula dengan mencari apa erti kebahagiaan itu terlebih dahulu.
Apakah erti bahagia? Ada yang beranggapan erti bahagia itu relatif. Ia berubah-ubah dan berbeza antara seorang individu dengan yang lain. Bagi yang sakit, sihat itu dirasakan bahagia. Tetapi apabila sudah sihat, kebahagiaan itu bukan pada kesihatan lagi. Sudah beralih kepada perkara yang lain lagi. Bagi golongan ini kebahagiaan itu adalah satu “moving target” yang tidak spesifik ertinya.  
Ada pula golongan pesimis. Mereka beranggapan bahawa tidak ada bahagia di dunia ini. Hidup adalah untuk menderita. Manusia dilahirkan bersama tangisan, hidup bersama tangisan dan akan dihantar ke kubur dengan tangisan. Bahagia adalah satu utopia, ilusi atau angan-angan. Ia tidak ujud dalam realiti dan kenyataan.
 Sumber dalaman atau luaran?
Sebelum mendapat jawapan tentang erti kebahagiaan yang sebenar, mesti dipastikan sumber kebahagiaan itu. Ia datang dari mana? Apakah bahagia itu datang dari luar ke dalam (outside-in) atau dari dalam ke luar (inside-out)?
Ramai yang merasakan bahawa bahagia itu bersumber dari faktor luaran. Ia bersumber daripada harta, kuasa, rupa, nama dan kelulusan yang dimiliki oleh seseorang. Golongan ini merasakan jika berjaya menjadi hartawan, negarawan, bangsawan, rupawan, kenamaan dan cendekiawan maka secara automatik bahagialah mereka.
Atas keyakinan itu ramai yang berhempas pulas dan sanggup melakukan apa sahaja untuk memiliki harta, kuasa dan lain-lain lagi. Kita tidak bahaskan mereka yang miskin, hodoh, tidak popular dan bodoh, lalu gagal merasakan bahagia tetapi mari kita tinjau apakah hidup para hartawan, rupawan, bangsawan, kenamaan dan cendekiawan itu bahagia?
 Realiti hidup jutawan, rupawan dan selebriti.
Realitinya, sudah menjadi “rules of life” (sunatullah), manusia tidak mendapat semua yang diingininya. Tidak ada seorang manusia pun yang dapat mengelakkan diri daripada sesuatu yang tidak disenanginya. Hidup adalah satu ujian yang menimpa semua manusia, tidak kira kedudukan, harta dan pangkatnya. Firman Allah:
“Dijadikan mati dan hidup adalah untuk menguji manusia siapakah yang terbaik amalannya.” Al Mulk.
Si kaya mungkin memiliki harta yang berjuta, tetapi mana mungkin dia mengelakkan diri daripada sakit, tua dan mati? Inilah yang berlaku kepada Cristina Onasis pewaris kekayaan ayahnya Aristotle Onasis, yang mati pada usia yang masih muda walaupun memiliki harta yang berbilion dollar. Mereka yang rupawan, tidak boleh mengelakkan diri daripada cercaan. Madonna, Paris Hilton (sekadar menyebut berapa nama) pernah dikutuk akibat kelakuan buruk masing-masing. Lady Diana yang memiliki semua pakej kelebihan wanita idaman akhirnya mati dalam keadaan yang tragis dan menyedihkan sekali.
John Lenon tidak dapat mengelakkan diri daripada dibunuh walaupun dirinya dipuja oleh jutaan peminat. Elizabeth Taylor pula sedang membilang usia yang kian meragut kecantikan dan potongan badannya. Itu belum dikira lagi nasib malang yang menimpa negarawan dan bangsawan tersohor seperti Al Malik Farouk (Masir), Shah Iran (Iran), Ferdinand Marcos (Filipina), Louis XVI (Perancis), Tsar (Rusia) dan lain-lain lagi. Tegasnya, kesakitan, cercaan, dijatuhkan dan lain-lain ujian hidup telah menumpaskan ramai hartawan, rupawan, negarawan dan cendekiawan dalam perlumbaan mencari kebahagiaan.
• Bukti hilangnya bahagia.
Apa buktinya, mereka hilang bahagia? Tidak payah kita berhujah menggunakan Al Quran dan Al Hadis, melalui paparan media massa sahaja sudah cukup menjadi bukti betapa tidak bahagianya mereka yang memiliki segala-galanya itu. Aneh, apabila selebriti dari Hollywood, yakni mereka yang memiliki rupa yang cantik, harta yang berbilion dolar, nama yang tersohor tetapi dilanda pelbagai masalah kronik. Senarai nama yang berkenaan cukup panjang …
Mereka yang terlibat dengan arak, rumah tangga cerai berai, dadah, jenayah, sakit jiwa dan bunuh diri ini sudah tentu tidak bahagia. Jika mereka bahagia dengan nama, harta dan rupa yang dimiliki tentulah mereka tidak akan terlibat dengan semua kekacauan jiwa dan kecelaruan peribadi itu. Tentu ada sesuatu yang “hilang” di tengah lambakan harta, rupa yang cantik dan nama yang popular itu.
• Ujian hidup punca hilang bahagia?
Mari kita lihat persoalan ini lebih dekat. Apakah benar ujian hidup menghilangkan rasa bahagia dalam kehidupan ini? Apakah sakit, usia tua, cercaan manusia, kemiskinan, kegagalan, kekalahan dan lain-lain ujian hidup menjadi sebab hilangnya bahagia? Jawabnya, tidak!
Jika kita beranggapan bahawa ujian hidup itu penyebab hilangnya bahagia maka kita sudah termasuk dalam golongan pesimis yang beranggapan tidak ada kebahagiaan di dunia. Mengapa begitu? Kerana hakikatnya hidup adalah untuk diuji. Itu adalah peraturan hidup yang tidak boleh dielakkan. Sekiranya benar itu penyebab hilangnya bahagia, maka tidak ada seorang pun manusia yang akan bahagia kerana semua manusia pasti diuji.
Atas dasar itu, ujian hidup bukan penyebab hilangnya bahagia. Sebagai perumpamaannya, jika air limau nipis diletakkan di atas tangan yang biasa, maka kita tidak akan berasa apa-apa. Sebaliknya, jika air limau itu dititiskan di atas tangan yang luka maka pedihnya akan terasa. Jadi apakah yang menyebabkan rasa pedih itu? Air limau itu kah atau tangan yang luka itu? Tentu jawapannya, luka di tangan itu.
• Metafora air limau dan luka di tangan
Air limau itu adalah umpama ujian hidup, manakala tangan yang luka itu ialah hati yang sakit. Hati yang sakit ialah hati yang dipenuhi oleh sifat-sifat mazmumah seperti takbur, hasad dengki, marah, kecewa, putus asa, dendam, takut, cinta dunia, gila puji, tamak dan lain-lain lagi. Ujian hidup yang menimpa diri hakikatnya menimbulkan sahaja sifat mazmumah yang sedia bersarang di dalam hati. Bila diuji dengan cercaan manusia, timbullah rasa kecewa, marah atau dendam. Bila diuji dengan harta, muncullah sifat tamak, gila puji dan takbur.
Justeru, miskin, cercaan manusia dan lain-lain itu bukanlah penyebab hilang bahagia tetapi rasa kecewa, marah dan tidak sabar itulah yang menyebabkannya. Pendek kata, ujian hidup hakikatnya hanya menyerlahkan sahaja realiti hati yang sudah tidak bahagia lama sebelum ia menimpa seseorang.
Dengan segala hujah di atas terbuktilah bahawa pendapat yang mengatakan bahagia itu datang dari luar ke dalam adalah tertolak sama sekali. Ini kerana faktor “kesihatan” hati jelas lebih dominan dalam menentukan bahagia atau tidaknya seseorang berbanding segala faktor luaran. Ini secara tidak langsung menunjukkan bahawa kebahagiaan itu datang dari dalam ke luar – soal hati.
• Inilah erti bahagia
Secara mudah kebahagiaan itu ialah memiliki hati yang tenang dalam menghadapi apa jua ujian dalam kehidupan. Inilah erti bahagia yang sebenar selaras petunjuk Allah di dalam Al Quran. Firman Allah:
“Ketahuilah dengan mengingati Allah, hati akan menjadi tenang.” Al Ra’du 28.
Rasulullah S.A.W. juga telah bersabda:
” Bahawasanya di dalam tubuh badan manusia ada seketul daging. Apabila ia baik, baik pulalah seluruh badan, tetapi apabila ia rosak maka rosak pulalah seluruh badan. Ingatlah ia adalah hati. ” (riwayat Bukhari Muslim)
Rasulullah S.A.W bersabda lagi:
” Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda tetapi kekayaan itu sebenarnya ialah kaya hati “
Kaya hati bermaksud hati yang tenang, lapang dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki – bersyukur dengan apa yang ada, sabar dengan apa yang tiada.
Oleh itu hati perlu dibersihkan serta dipulihara dan dipelihara “kesihatannya” agar lahir sifat-sifat mahmudah seperti amanah, sabar, syukur, qanaah, reda, pemaaf dan sebagainya. Kemuncak kebahagiaan ialah apabila hati seseorang mampu mendorong pemiliknya melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan dan larangan yang ditentukan oleh Islam dengan mudah dan secara “auto pilot”.
KAEDAH MENCARI BAHAGIA MENURUT AL QURAN DAN AS SUNAH:
1. Beriman dan beramal salih.
“Siapa yang beramal salih baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan ia beriman, maka Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan membalas mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang mereka amalkan.” (An-Nahl: 97)
Ibnu ‘Abbas RA meriwayatkan bahawa sekelompok ulama mentafsirkan bahawa kehidupan yang baik (dalam ayat ini) ialah rezeki yang halal dan baik (halalan tayyiban). Sayidina Ali pula mentafsirkannya dengan sifat qana’ah (merasa cukup). Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas, meriwayatkan bahawa kehidupan yang baik itu adalah kebahagiaan.
2. Banyak mengingat Allah .
Dengan berzikir kita akan mendapat kelapangan dan ketenangan sekali gus bebas daripada rasa gelisah dan gundah gulana. Firman Allah:
“Ketahuilah dengan mengingat (berzikir) kepada Allah akan tenang hati itu.” (Ar-Ra’d: 28)
3. Bersandar kepada Allah.
Dengan cara ini seorang hamba akan memiliki kekuatan jiwa dan tidak mudah putus asa dan kecewa. Allah berfirman:
“Siapa yang bertawakal kepada Allah maka Allah akan mencukupinya.” (Ath-Thalaq: 3)
4. Sentiasa mencari peluang berbuat baik.
Berbuat baik kepada makhluk dalam bentuk ucapan mahupun perbuatan dengan ikhlas dan mengharapkan pahala daripada Allah akan memberi ketenangan hati.
Firman-Nya:
“Tidak ada kebaikan dalam kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh ( manusia) untuk bersedekah atau berbuat kebaikan dan ketaatan atau memperbaiki hubungan di antara manusia. Barang siapa melakukan hal itu karena mengharapkan keredaan Allah, nescaya kelak Kami akan berikan padanya pahala yang besar.” (An-Nisa: 114)
5. Tidak panjang angan-angan tentang masa depan dan tidak meratapi masa silam.
Fikir tetapi jangan khuatir. Jangan banyak berangan-angan terhadap masa depan yang belum pasti. Ini akan menimbulkan rasa gelisah oleh kesukaran yang belum tentu datang. Juga tidak terus meratapi kegagalan dan kepahitan masa lalu karena apa yang telah berlalu tidak mungkin dapat dikembalikan semula. Rasulullah SAW bersabda: “Bersemangatlah untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagi mu dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah lemah. Bila menimpa mu sesuatu (dari perkara yang tidak disukai) janganlah engkau berkata: “Seandainya aku melakukan ini nescaya akan begini dan begitu,” akan tetapi katakanlah: “Allah telah menetapkan dan apa yang Dia inginkan Dia akan lakukan,” karena sesungguhnya kalimat ‘seandainya’ itu membuka amalan syaitan.” (HR. Muslim)
6. Melihat “kelebihan” bukan kekurangan diri.
Lihatlah orang yang di bawah dari segi kehidupan dunia, misalnya dalam kurniaan rezeki karena dengan begitu kita tidak akan meremehkan nikmat Allah yang diberikan Allah kepada kita. Rasulullah SAW bersabda:
“Lihatlah orang yang di bawah kamu dan jangan melihat orang yang di atas kamu karena dengan (melihat ke bawah) lebih pantas untuk kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang dilimpahkan-Nya kepada kamu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

7. Jangan mengharapkan ucapan terima kasih manusia.

Ketika melakukan sesuatu kebaikan, jangan mengharapkan ucapan terima kasih ataupun balasan manusia. Berharaplah hanya kepada Allah. Kata bijak pandai, jangan mengharapkan ucapan terima kasih kerana umumnya manusia tidak pandai berterima kasih. Malah ada di antara hukama berkata, “sekiranya kita mengharapkan ucapan terima kasih daripada manusia nescaya kita akan menjadi orang yang sakit jiwa!”. Firman Allah:
“Kami memberi makan kepada kalian hanyalah karena mengharap wajah Allah, kami tidak menginginkan dari kalian balasan dan tidak pula ucapan terima kasih.” (Al Insan: 9)
ZIKRULLAH YANG MEMBAWA BAHAGIA
Ketenangan itu dicapai melalui zikrullah. Zikrullah akan memberi ketenangan buat hati. Ketenangan hati itulah kebahagiaan sebenar. Tetapi kenapa ada orang yang berzikir tetapi hati tidak ataupun belum tenang? (Untuk mendapat jawapannya, tolong rujuk kembali entri dalam blog ini dalam tajuk: Mencari Ketenangan Hati)
Hati adalah sumber dari segala-galanya dalam hidup kita, agar kehidupan kita baik dan benar, maka kita perlu menjaga kebersihan hati kita. Jangan sampai hati kita kotori dengan hal-hal yang dapat merosak kehidupan kita apalagi sampai merosak kebahagiaan hidup kita di dunia ini dan di akhirat nanti.
Ingatlah, untuk menjaga kebersihan hati, (selalin berzikir) kita perlu menjaga penglihatan, pendengaran, fikiran, ucapan kita dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Dengan menjaga hal-hal tersebut kita dapat menjaga kebersihan hati kita. Dengan hati yang bersih kita gapai kebahagiaan dunia dan akhirat.  Jadi berhati-hatilah menjaga hati kerana ia adalah punca ketenangan dan kebahagiaan diri!
Kita harus melatih hati kita supaya sentiasa berniat baik dan inginkan sesuatu yang baik. Sentiasa riang, gembira dan tenang dengan setiap pekerjaan yang dilakukan. Sentiasa melakukan kerja amal, tolong menolong, bergotong royong, sentiasa bercakap benar, sopan dan hidup dengan berkasih sayang antara satu dengan lain.
Marilah kita bersihkan hati kita dari segala kotorannya dengan memperbanyak mendekatkan diri kepada Allah SWT dan memperbanyak doa agar Allah SWT mengurniakan kita hati yang bersih dan selalu dekat dengan-Nya. Itulah beberapa hal yang mungkin dapat kita jadikan landasan untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia ini dan juga sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan akhirat nanti.
Sebenarnya kebahagiaan hidup yang hakiki dan ketenangan hanya didapatkan dalam agama Islam yang mulia ini. Sehingga yang dapat hidup bahagia dalam erti yang sebenarnya hanyalah orang-orang yang berpegang teguh dengan agama.
APA ITU BAHAGIA?
Oleh: Pahrol Mohamad Juoi
Jika ada manusia yang berkata, alangkah bahagianya kalau aku tidak bahagia, maka sudah tentu dia tidak siuman lagi kerana bahagia itu merupakan fitrah semula jadi setiap manusia. Tidak ada manusia yang tidak inginkannya. Bahkan, apa sahaja yang diusahakan dan dilakukan oleh manusia adalah untuk mencapai bahagia.
• Bahagia itu relatif?
Malangnya, keinginan manusia untuk bahagia sering tidak kesampaian. Ini disebabkan ramai manusia tidak tahu apa makna bahagia sebenarnya dan mereka juga tidak tahu bagaimanakah caranya untuk mendapatkannya. Jika kita mencari sesuatu yang tidak diketahui dan dikenali, sudah pasti kita tidak akan menemuinya. Oleh itu, usaha mencari kebahagiaan itu mestilah bermula dengan mencari apa erti kebahagiaan itu terlebih dahulu.
Apakah erti bahagia? Ada yang beranggapan erti bahagia itu relatif. Ia berubah-ubah dan berbeza antara seorang individu dengan yang lain. Bagi yang sakit, sihat itu dirasakan bahagia. Tetapi apabila sudah sihat, kebahagiaan itu bukan pada kesihatan lagi. Sudah beralih kepada perkara yang lain lagi. Bagi golongan ini kebahagiaan itu adalah satu “moving target” yang tidak spesifik ertinya.
Ada pula golongan pesimis. Mereka beranggapan bahawa tidak ada bahagia di dunia ini. Hidup adalah untuk menderita. Manusia dilahirkan bersama tangisan, hidup bersama tangisan dan akan dihantar ke kubur dengan tangisan. Bahagia adalah satu utopia, ilusi atau angan-angan. Ia tidak ujud dalam realiti dan kenyataan.
• Sumber dalaman atau luaran?
Sebelum mendapat jawapan tentang erti kebahagiaan yang sebenar, mesti dipastikan sumber kebahagiaan itu. Ia datang dari mana? Apakah bahagia itu datang dari luar ke dalam (outside-in) atau dari dalam ke luar (inside-out)?
Ramai yang merasakan bahawa bahagia itu bersumber dari faktor luaran. Ia bersumber daripada harta, kuasa, rupa, nama dan kelulusan yang dimiliki oleh seseorang. Golongan ini merasakan jika berjaya menjadi hartawan, negarawan, bangsawan, rupawan, kenamaan dan cendekiawan maka secara automatik bahagialah mereka.
Atas keyakinan itu ramai yang berhempas pulas dan sanggup melakukan apa sahaja untuk memiliki harta, kuasa dan lain-lain lagi. Kita tidak bahaskan mereka yang miskin, hodoh, tidak popular dan bodoh, lalu gagal merasakan bahagia tetapi mari kita tinjau apakah hidup para hartawan, rupawan, bangsawan, kenamaan dan cendekiawan itu bahagia?
• Realiti hidup jutawan, rupawan dan selebriti.
Realitinya, sudah menjadi “rules of life” (sunatullah), manusia tidak mendapat semua yang diingininya. Tidak ada seorang manusia pun yang dapat mengelakkan diri daripada sesuatu yang tidak disenanginya. Hidup adalah satu ujian yang menimpa semua manusia, tidak kira kedudukan, harta dan pangkatnya. Firman Allah:
“Dijadikan mati dan hidup adalah untuk menguji manusia siapakah yang terbaik amalannya.” Al Mulk.
Si kaya mungkin memiliki harta yang berjuta, tetapi mana mungkin dia mengelakkan diri daripada sakit, tua dan mati? Inilah yang berlaku kepada Cristina Onasis pewaris kekayaan ayahnya Aristotle Onasis, yang mati pada usia yang masih muda walaupun memiliki harta yang berbilion dollar. Mereka yang rupawan, tidak boleh mengelakkan diri daripada cercaan. Madonna, Paris Hilton (sekadar menyebut berapa nama) pernah dikutuk akibat kelakuan buruk masing-masing. Lady Diana yang memiliki semua pakej kelebihan wanita idaman akhirnya mati dalam keadaan yang tragis dan menyedihkan sekali.
John Lenon tidak dapat mengelakkan diri daripada dibunuh walaupun dirinya dipuja oleh jutaan peminat. Elizabeth Taylor pula sedang membilang usia yang kian meragut kecantikan dan potongan badannya. Itu belum dikira lagi nasib malang yang menimpa negarawan dan bangsawan tersohor seperti Al Malik Farouk (Masir), Shah Iran (Iran), Ferdinand Marcos (Filipina), Louis XVI (Perancis), Tsar (Rusia) dan lain-lain lagi. Tegasnya, kesakitan, cercaan, dijatuhkan dan lain-lain ujian hidup telah menumpaskan ramai hartawan, rupawan, negarawan dan cendekiawan dalam perlumbaan mencari kebahagiaan.
• Bukti hilangnya bahagia.
Apa buktinya, mereka hilang bahagia? Tidak payah kita berhujah menggunakan Al Quran dan Al Hadis, melalui paparan media massa sahaja sudah cukup menjadi bukti betapa tidak bahagianya mereka yang memiliki segala-galanya itu. Aneh, apabila selebriti dari Hollywood, yakni mereka yang memiliki rupa yang cantik, harta yang berbilion dolar, nama yang tersohor tetapi dilanda pelbagai masalah kronik. Senarai nama yang berkenaan cukup panjang (lihat sebahagian fakta yang dipaparkan).
Mereka yang terlibat dengan arak, rumah tangga cerai berai, dadah, jenayah, sakit jiwa dan bunuh diri ini sudah tentu tidak bahagia. Jika mereka bahagia dengan nama, harta dan rupa yang dimiliki tentulah mereka tidak akan terlibat dengan semua kekacauan jiwa dan kecelaruan peribadi itu. Tentu ada sesuatu yang “hilang” di tengah lambakan harta, rupa yang cantik dan nama yang popular itu.
• Ujian hidup punca hilang bahagia?
Mari kita lihat persoalan ini lebih dekat. Apakah benar ujian hidup menghilangkan rasa bahagia dalam kehidupan ini? Apakah sakit, usia tua, cercaan manusia, kemiskinan, kegagalan, kekalahan dan lain-lain ujian hidup menjadi sebab hilangnya bahagia? Jawabnya, tidak!
Jika kita beranggapan bahawa ujian hidup itu penyebab hilangnya bahagia maka kita sudah termasuk dalam golongan pesimis yang beranggapan tidak ada kebahagiaan di dunia. Mengapa begitu? Kerana hakikatnya hidup adalah untuk diuji. Itu adalah peraturan hidup yang tidak boleh dielakkan. Sekiranya benar itu penyebab hilangnya bahagia, maka tidak ada seorang pun manusia yang akan bahagia kerana semua manusia pasti diuji.
Atas dasar itu, ujian hidup bukan penyebab hilangnya bahagia. Sebagai perumpamaannya, jika air limau nipis diletakkan di atas tangan yang biasa, maka kita tidak akan berasa apa-apa. Sebaliknya, jika air limau itu dititiskan di atas tangan yang luka maka pedihnya akan terasa. Jadi apakah yang menyebabkan rasa pedih itu? Air limau itu kah atau tangan yang luka itu? Tentu jawapannya, luka di tangan itu.
• Metafora air limau dan luka di tangan
Air limau itu adalah umpama ujian hidup, manakala tangan yang luka itu ialah hati yang sakit. Hati yang sakit ialah hati yang dipenuhi oleh sifat-sifat mazmumah seperti takbur, hasad dengki, marah, kecewa, putus asa, dendam, takut, cinta dunia, gila puji, tamak dan lain-lain lagi. Ujian hidup yang menimpa diri hakikatnya menimbulkan sahaja sifat mazmumah yang sedia bersarang di dalam hati. Bila diuji dengan cercaan manusia, timbullah rasa kecewa, marah atau dendam. Bila diuji dengan harta, muncullah sifat tamak, gila puji dan takbur.
Justeru, miskin, cercaan manusia dan lain-lain itu bukanlah penyebab hilang bahagia tetapi rasa kecewa, marah dan tidak sabar itulah yang menyebabkannya. Pendek kata, ujian hidup hakikatnya hanya menyerlahkan sahaja realiti hati yang sudah tidak bahagia lama sebelum ia menimpa seseorang.
Dengan segala hujah di atas terbuktilah bahawa pendapat yang mengatakan bahagia itu datang dari luar ke dalam adalah tertolak sama sekali. Ini kerana faktor “kesihatan” hati jelas lebih dominan dalam menentukan bahagia atau tidaknya seseorang berbanding segala faktor luaran. Ini secara tidak langsung menunjukkan bahawa kebahagiaan itu datang dari dalam ke luar – soal hati.
• Inilah erti bahagia
Secara mudah kebahagiaan itu ialah memiliki hati yang tenang dalam menghadapi apa jua ujian dalam kehidupan. Inilah erti bahagia yang sebenar selaras petunjuk Allah di dalam Al Quran. Firman Allah:
“Ketahuilah dengan mengingati Allah, hati akan menjadi tenang.” Al Ra’du 28.
Rasulullah S.A.W. juga telah bersabda:
” Bahawasanya di dalam tubuh badan manusia ada seketul daging. Apabila ia baik, baik pulalah seluruh badan, tetapi apabila ia rosak maka rosak pulalah seluruh badan. Ingatlah ia adalah hati. ” (riwayat Bukhari Muslim)
Rasulullah S.A.W bersabda lagi:
” Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda tetapi kekayaan itu sebenarnya ialah kaya hati “
Kaya hati bermaksud hati yang tenang, lapang dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki – bersyukur dengan apa yang ada, sabar dengan apa yang tiada.
Oleh itu hati perlu dibersihkan serta dipulihara dan dipelihara “kesihatannya” agar lahir sifat-sifat mazmumah seperti amanah, sabar, syukur, qanaah, reda, pemaaf dan sebagainya. Kemuncak kebahagiaan ialah apabila hati seseorang mampu mendorong pemiliknya melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan dan larangan yang ditentukan oleh Islam dengan mudah dan secara “auto pilot”.
KAEDAH MENCARI BAHAGIA MENURUT AL QURAN DAN AS SUNAH:
1. Beriman dan beramal salih.
“Siapa yang beramal salih baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan ia beriman, maka Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan membalas mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang mereka amalkan.” (An-Nahl: 97)
Ibnu ‘Abbas RA meriwayatkan bahawa sekelompok ulama mentafsirkan bahawa kehidupan yang baik (dalam ayat ini) ialah rezeki yang halal dan baik (halalan tayyiban). Sayidina Ali pula mentafsirkannya dengan sifat qana’ah (merasa cukup). Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas, meriwayatkan bahawa kehidupan yang baik itu adalah kebahagiaan.
2. Banyak mengingat Allah .
Dengan berzikir kita akan mendapat kelapangan dan ketenangan sekali gus bebas daripada rasa gelisah dan gundah gulana. Firman Allah:
“Ketahuilah dengan mengingat (berzikir) kepada Allah akan tenang hati itu.” (Ar-Ra’d: 28)
3. Bersandar kepada Allah.
Dengan cara ini seorang hamba akan memiliki kekuatan jiwa dan tidak mudah putus asa dan kecewa. Allah berfirman:
“Siapa yang bertawakal kepada Allah maka Allah akan mencukupinya.” (Ath-Thalaq: 3)
4. Sentiasa mencari peluang berbuat baik.
Berbuat baik kepada makhluk dalam bentuk ucapan mahupun perbuatan dengan ikhlas dan mengharapkan pahala daripada Allah akan memberi ketenangan hati.
Firman-Nya:
“Tidak ada kebaikan dalam kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh ( manusia) untuk bersedekah atau berbuat kebaikan dan ketaatan atau memperbaiki hubungan di antara manusia. Barang siapa melakukan hal itu karena mengharapkan keredaan Allah, nescaya kelak Kami akan berikan padanya pahala yang besar.” (An-Nisa: 114)
5. Tidak panjang angan-angan tentang masa depan dan tidak meratapi masa silam.
Fikir tetapi jangan khuatir. Jangan banyak berangan-angan terhadap masa depan yang belum pasti. Ini akan menimbulkan rasa gelisah oleh kesukaran yang belum tentu datang. Juga tidak terus meratapi kegagalan dan kepahitan masa lalu karena apa yang telah berlalu tidak mungkin dapat dikembalikan semula. Rasulullah SAW bersabda: “Bersemangatlah untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagi mu dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah lemah. Bila menimpa mu sesuatu (dari perkara yang tidak disukai) janganlah engkau berkata: “Seandainya aku melakukan ini nescaya akan begini dan begitu,” akan tetapi katakanlah: “Allah telah menetapkan dan apa yang Dia inginkan Dia akan lakukan,” karena sesungguhnya kalimat ‘seandainya’ itu membuka amalan syaitan.” (HR. Muslim)
6. Melihat “kelebihan” bukan kekurangan diri.
Lihatlah orang yang di bawah dari segi kehidupan dunia, misalnya dalam kurniaan rezeki karena dengan begitu kita tidak akan meremehkan nikmat Allah yang diberikan Allah kepada kita. Rasulullah SAW bersabda:
“Lihatlah orang yang di bawah kamu dan jangan melihat orang yang di atas kamu karena dengan (melihat ke bawah) lebih pantas untuk kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang dilimpahkan-Nya kepada kamu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
7. Jangan mengharapkan ucapan terima kasih manusia.
Ketika melakukan sesuatu kebaikan, jangan mengharapkan ucapan terima kasih ataupun balasan manusia. Berharaplah hanya kepada Allah. Kata bijak pandai, jangan mengharapkan ucapan terima kasih kerana umumnya manusia tidak pandai berterima kasih. Malah ada di antara hukama berkata, “sekiranya kita mengharapkan ucapan terima kasih daripada manusia nescaya kita akan menjadi orang yang sakit jiwa!”. Firman Allah:
“Kami memberi makan kepada kalian hanyalah karena mengharap wajah Allah, kami tidak menginginkan dari kalian balasan dan tidak pula ucapan terima kasih.” (Al Insan: 9)

Minggu, 05 Oktober 2014

99 Cahaya Di Langit Eropa



Buku ini adalah catatan perjalanan atas sebuah pencarian. Pencarian cahaya Islam di Eropa yang kini sedang tertutup awan saling curiga dan kesalahpahaman. Untuk pertama kalinya dalam 26 tahun, aku merasakan hidup di suatu negara dimana Islam menjadi minoritas. Pengalaman yang makin memperkaya spiritualku untuk lebih mengenal Islam dengan cara yang berbeda.
Tinggal di Eropa selama 3 tahun adalah arena menjelajah Eropa dan segala isinya. Hingga akhirnya aku menemukan banyak hal lain yang jauh lebih menarik dari sekedar Menara Eiffel, Tembok Berlin, Konser Mozart, Stadion Sepakbola San Siro, Colloseum Roma, atau gondola gondola di Venezia. Pencarianku telah mengantarkanku pada daftar tempat-tempat ziarah baru di Eropa. Aku tak menyangka Eropa sesungguhnya juga menyimpan sejuta misteri tentang Islam.
Eropa dan Islam. Mereka pernah menjadi pasangan serasi. Kini hubungan keduanya penuh pasang surut prasangka dengan berbagai dinamikanya. Aku merasakan ada manusia-manusia dari kedua pihak yang terus bekerja untuk memperburuk hubungan keduanya.
Pertemuanku dengan perempuan muslim di Austria, Fatma Pasha telah mengajarkanku untuk menjadi bulir-bulir yang bekerja sebaliknya. Menunjukkan pada Eropa bulir cinta dan luasnya kedamaian Islam. Sebagai Turki di Austria, Ia mencoba menebus kesalahan kakek moyangnya yang gagal meluluhkan Eropa dengan menghunus pedang dan meriam. Kini ini ia mencoba lagi dengan cara yang lebih elegan, yaitu dengan lebarnya senyum dan dalamnya samudra kerendahan hati.
Aku dan Fatma mengatur rencana. Kami akan mengarungi jejak-jejak Islam dari barat hingga ke timur Eropa. Dari Andalusia Spanyol hingga ke Istanbul Turki. Dan entah mengapa perjalanan pertamaku justru mengantarkanku ke Kota Paris, pusat ibukota peradaban Eropa.
Di Paris aku bertemu dengan seorang mualaf, Marion Latimer yang bekerja sebagai ilmuwan di Arab World Institute Paris. Marion menunjukkan kepadaku bahwa Eropa juga adalah pantulan cahaya kebesaran Islam. Eropa menyimpan harta karun sejarah Islam yang luar biasa berharganya. Marion membukakan mata hatiku. Membuatku jatuh cinta lagi dengan agamaku, Islam. Islam sebagai sumber pengetahuan yang penuh damai dan kasih.
Museum Louvre, Pantheon, Gereja Notre Dame hingga Les Invalides semakin membuatku yakin dengan agamaku. Islam dulu pernah menjadi sumber cahaya terang benderang ketika Eropa diliputi abad kegelapan. Islam pernah bersinar sebagai peradaban paling maju di dunia, ketika dakwah bisa bersatu dengan pengetahuan dan kedamaian, bukan dengan teror atau kekerasan
Perjalananku menjelajah Eropa adalah sebuah pencarian 99 cahaya kesempurnaan yang pernah dipancarkan oleh Islam di benua ini. Cordoba, Granada, Toledo, Sicilia dan Istanbul masuk dalam manifest perjalanan spiritualku selanjutnya.
Saat memandang matahari tenggelam di Katedral Mezquita Cordoba, Istana Al Hambra Granada, atau Hagia Sophia Istanbul, aku bersimpuh. Matahari tenggelam yang aku lihat adalah jelas matahari yang sama, yang juga dilihat oleh orang-orang di benua ini 1000 tahun lalu. Matahari itu menjadi saksi bisu bahwa Islam pernah menjamah Eropa, menyuburkannya dengan menyebar benih-benih ilmu pengetahuan, dan menyianginya dengan kasih sayang dan toleransi antar umat beragama.
Akhir dari perjalananku selama 3 tahun di Eropa justru mengantarkanku pada titik awal pencarian makna dan tujuan hidup. Makin mendekatkanku pada sumber kebenaran abadi yang Maha Sempurna.



Acha Septriasa dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa
Acha Septriasa dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa

Sebagai sebuah imajinasi, film ini terasa mewah. Tiba di akhir film kedua, segera terasa bahwa segala lanskap Eropa dari Vienna hingga Istambul di layar hanyalah sebuah latar bagi peristiwa yang sangat pribadi: keputusan seorang perempuan Indonesia untuk memakai jilbab.

Atau, jika kita hendak lebih akurat, para pembuat film ini lebih suka memakai kata "hijab" daripada "jilbab". Saya menyimpulkan ini dari beberapa petunjuk dalam film, maupun (terutama) latar pembuatan film, dan petunjuk-petunjuk lain tentang penonton utama film ini. Sebelum menelusuri petunjuk-petunjuk itu, saya perlu menekankan pentingnya kata "jilbab" dan "hijab" bagi film ini.
Dua kata tersebut sama-sama mengacu pada pakaian jenis khas yang bertujuan menutup aurat perempuan muslimah secara menyeluruh. Kedua kata tersebut punya latar sejarah sosial yang berbeda. Setidaknya, dalam penggunaanya di saat ini. Menelusuri makna dan latar kata "jilbab" dan "hijab" saja, kita bisa mendapati sebuah konstruksi pemahaman Islam yang mendasari film 99 Cahaya Di Langit Eropa, bagian 1 & 2.

Pergeseran makna dua kata
"Jilbab" adalah kata dari bahasa Arab yang mencuat pada pertengahan 1980-an di Indonesia. Kata ini bermakna: " n kerudung lebar yg dipakai wanita muslim untuk menutupi kepala dan leher sampai dada." Itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online.
Kata "jilbab" masuk menjadi lema pada Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam edisi cetak yang dikeluarkan pada 1990. Dalam penggunaannya, "jilbab" biasanya dikaitkan dengan pemakaian baju panjang yang menutupi tangan dan kaki. Kadang, dengan cadar juga –yakni penutup wajah dan tangan. Itu sesuai aliran atau kepercayaan yang dianut si pemakai jilbab.
Yang jelas, kata "jilbab" menjadi isu nasional ketika pada awal 1980-an ada pelarangan pemerintahan rezim Soeharto untuk menggunakan jilbab di kantor instansi dan sekolah/universitas. Kronologi berbagai pelarangan jilbab itu antara lain bisa dibaca di dalam tulisan Alwi Alatas, Kasus Jilbab Di Sekolah-sekolah Negeri di Indonesia Tahun 1982-1991 (dihttp://maaini.wordpress.com/2008/11/17/sekelumit-sejarah-jilbab-di-sekolah-negeri-di-indonesia/.
Puncak isu jilbab terjadi ketika ada isu dan kerusuhan yang dikenal sebagai peristiwa "jilbab racun" pada 1989. Bermula dari desas-desus bahwa ada perempuan-perempuan berjilbab yang menebar racun di tengah pasar, atau warung, maka untuk beberapa minggu masyarakat yang resah memburu dan mengeroyok para pemakai jilbab. Pada saat itu, pemakai jilbab masih dianggap pembawa paham Islam yang "baru" dan menyempal.
Kecemasan masyarakat saat itu terpengaruh oleh langkah-langkah pemerintah rezim Soeharto yang memang memperlakukan pemakai jilbab sebagai kelompok yang harus dicurigai dan dibatasi, didiskriminasi, sebagai ancaman terhadap "stabilitas" (sebuah kata kunci rezim untuk mengatur masyarakat). Kecemasan yang membuahkan kekerasan saat isu "jilbab racun" beredar. Banyak pemakai jilbab dikejar-kejar saat lewat pasar, dikeroyok, dilempari batu atau dipukuli.  
Saya ingat, keadaan begitu mencekam, sehingga banyak pembimbing tarbiyah (gerakan Islam yang bertalian dengan metode dakwah Ikhwanul Muslimin yang nantinya jadi embrio Partai Keadilan Sejahtera (PKS)) yang membolehkan para pemakai jilbab yang ketakutan melepas jilbab untuk sementara. Walau, ada juga iming-iming, akan lebih mulia di mata Allah jika mereka teguh memakai jilbab apa pun yang terjadi.
Akhirnya, isu itu malah berbalik arah ketika makin banyak ditemukan (ditangkap) oleh masyarakat bahwa para pemakai jilbab yang menebar racun itu abal-abal. Konon, ada yang bahkan sebetulnya lelaki menyamar pakai jilbab dan saat ditangkap massa berlagak gila. Lagipula, sebelum kabar pemakai jilbab abal-abal itu, sebagian masyarakat sudah mulai bersimpati pada para pemakai jilbab yang selalu terancam massa. Mereka curiga, pasti ada "apa-apa" di balik isu aneh tersebut.
Peristiwa "jilbab racun" penting disebut karena itulah salah satu tonggak saat kata "jilbab" terpampang jadi headlines koran-koran di Indonesia. Dengan kata lain, itulah saat kata "jilbab" masuk dan merasuk jadi kosa kata bersama di Indonesia. Makna leksikalnya tak jauh dari yang tercantum di KBBI seperti saya kutip di atas, sedang makna kulturalnya –sebagai atribut identitas Islam bagi sebagian muslim– semakin berterima sesudah peristiwa itu.
Raline Shah dan Geccha Tawara dalam film 99 Cahaya Di Langit Eropa
Raline Shah dan Geccha Tawara dalam film 99 Cahaya Di Langit Eropa
Sebelum isu "jilbab racun", ada juga penggeseran makna "jilbab" yang penting. Pada Pentas Seni Ramadhan Jamaah Shalahuddin, Universitas Gajah Mada (UGM), 1986, penyair dan teaterwan Emha Ainun Nadjib menulis dan membacakan secara spontan puisi panjang Lautan Jilbab. Sejak saat itu, Emha membacakan puisi itu di berbagai tempat, dengan berbagai perubahan spontan. Sampai akhirnya, dengan penyuntingan cukup banyak, terbit versi tertulis puisi Lautan Jilbab untuk pertama kali pada 1989.

Puisi dan pembacaan puisi tersebut penting, karena Emha mencoba menggeser makna "jilbab" dari sebuah gerakan ideologis Islam yang eksklusif menjadi sebuah gerakan kultural yang kritis terhadap rezim. Penggeseran itu sekaligus menampik makna yang ditekankan rezim tentang "jilbab", sebagai ajaran berbahaya yang harus diawasi atau dilarang.
Pergeseran makna kultural lain malah terjadi lebih dini lagi, sejak semula ada gerakan berjilbab di kalangan pelajar Bandung pada 1979, dan ditanggapi dengan pelarangan dan diskriminasi oleh pemerintah. Saat itu, seorang fotomodel perempuan dan desainer muda saat itu yang juga mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), Anne Rufaidah, terlibat. Dan akhirnya, pada awal 1980-an, ia memakai jilbab secara terbuka. Ia pun aktif mengawali gerakan mode Islami, fashionuntuk para pemakai jilbab.
Dalam semua latar sejarah bagi kata "jilbab" di Indonesia tersebut, beredar sebuah kata terkait: "hijab". Di kalangan dakwah aliran bawah tanah saat itu (termasuk gerakan tarbiyah), kata ini dianggap lebih "hard core" dalam hal syariah pakaian perempuan. Pangkalnya, antara lain, pada 1984, terbit terjemahan buku pemikir Islam radikal dari Pakistan, Abu'l A'la Maududi, berjudulHijab. Biasanya, di kalangan tarbiyah waktu itu, buku ini disembunyikan dulu dari para peserta dakwah pemula, karena dianggap "terlalu keras".
Walau begitu, tentu saja kata "hijab" beredar juga di kalangan pelaku dakwah dan tarbiyah, dalam percakapan informal (seringkali berfungsi sebagai atribut identitas kekelompokan juga) maupun penerbitan internal mereka –seperti majalah SabiliUmmi, atau Annida. Walau tak menjadi kata yang berterima di masyarakat luas, kata itu selalu terpakai hingga 1990-an, dalam makna atau konotasi radikalnya.
Secara etimologis (asal-usul kata), "hijab" berasal dari istilah Arab yang dalam Al Qur'an mengacu pada kain pemisah, atau tirai. Diterapkan pada pakaian perempuan, "hijab" bisa dipakai untuk pengganti kata jilbab, tapi biasanya juga dipakai untuk menyebutkan keseluruhan pakaian tertutup bagi seorang muslimah. Secara konotatif, di kalangan gerakan Islam, "hijab" lebih lekat pada fungsi politik identitas, untuk membedakan diri dari non-Islam dan non-gerakan.
Sementara, angin politik-sosial-kultural berbalik ke arah Islamisasi di arus utama pemerintahan pada 1990-an. Jilbab menjadi arusutama (mainstream) pakaian muslim –walau pemakainya tak lantas jadi mayoritas di Indonesia. Bahkan, jilbab tumbuh jadi gaya hidup baru di kalangan kelas menengah kota kita, seiring semakin meluasnya para pemakai jilbab di dunia usaha. "Jilbab" kemudian jadi gaya hidup yang dianggap wajar, tapi "hijab" masih jadi bagian gaya hidup yang di luar arusutama.
Setelah 1998, khususnya sejak pertengahan 2000-an, menguatlah kelompok pemakai jilbab generasi baru, yang praktis tak banyak paham akan latar historis kedua kata itu. Maka, menarik, ketika kata "hijab" kemudian diadopsi oleh kelompok muslimah fashionista (penggemar mode) menjadi sebutan diri "kaum hijabers". Di tangan mereka, kata "hijab" kehilangan makna radikalnya. Posisinya malah terbalik dengan kata jilbab: kata "hijab" dianggap lebih modern, lebih modis, lebih ramah.      
Di titik ini, kita memasuki konstruksi Islam sebagai gaya hidup (life style). Dan  gaya hidup tersebut diperjuangkan melalui media-media baru, termasuk film-film popular semacam 99 Cahaya Di Eropa. Film ini boleh dibilang lahir dari dan untuk para hijabers itu.

Tubuh Perempuan dalam konstruksi gaya hidup Islami
Kaum hijabers tumbuh dari industri mode Islami. Setelah dirintis oleh artis-artis 1980-an seperti Anne Rufaidah, Ida Royani, dan Ida Leman, bisnis mode Islami (yang tak lain mengacu terutama pada industri mode jilbab), industri tersebut mengalami pertumbuhan mengesankan pada 2000-an. Kaum hijabers bisa dianggap salah satu representasi mutakhir pertumbuhan industri tersebut.
Misalnya: Sebuah berita di situs kabarbisnis.com menyigi Indonesia Hijab Festival ke-2, pada 2-5 Mei 2013 di Surabaya, menarget pendapatan selama festival sebesar satu milyar rupiah (http://www.kabarbisnis.com/read/2838654). Target itu telah disederhanakan dari target Indonesia Hijab Festival pertama di Bandung, 2012, sejumlah 1,5 milyar rupiah –dan diklaim oleh penyelenggaranya malah meraup tiga milyar rupiah selama festival.
Industri yang semakin sering menyebut diri "industri hijab" tersebut disangga oleh pertumbuhan pesat komunitas-komunitas hijabers di berbagai kota Indonesia. Kaum hijabers tersebut memiliki ciri ingin memakai jilbab tanpa menanggalkan hasrat menjadi cantik. Di sini kita pun melihat sebuah hibridisasi yang sukar dibayangkan para pejuang jilbab awal di 1980-an: makna "cantik" yang diangankan kaum hijabers itu hampir sepenuhnya mengadopsi konstruksi ideologi kecantikan menurut industri mode di negara-negara kapitalis maju (seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea, atau Prancis).
Untuk mengukuhkan simpulan ini, cukuplah ketik kata "hijab" atau "hijabers" di google, lalu telusuri foto-foto dan situs-situs yang tersedia. Betapa banyak situs yang muncul dipenuhi gambar perempuan berhijab modis dengan pose-pose selayak foto model. Bahkan jika itu foto-foto dari blog atau akun pribadi di Facebook dan Instagram.
Artinya, konstruksi pemaknaan "cantik" kaum hijabers itu lekat dengan tindakan konsumtif, terkait erat dengan perilaku mengonsumsi produk-produk kecantikan, fashion, dan segala gaya hidup yang menjadi sertaannya. Makna radikal kata "hijab" telah luruh, tergerus makna industrialnya. Kita bisa menyebut ini bagian dari gejala komodifikasi agama, dalam hal ini Islam, dan umat telah beralih menjadi Konsumen (dengan "K" besar). Tentu saja ini semacam generalisasi, tapi kita bisa melihat gejala ini paling tidak dalam corak keberagamaan yang berkembang di kalangan muslim kelas menengah kota-kota besar di Indonesia.
Dewi Sandra dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa
Dewi Sandra dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa
Representasi dari konstruksi pemahaman Islam dengan corak tersebut bisa dilihat pada kiprah salah satu tokoh utamahijabers, Dian Pelangi, yang juga bermain sebagai salah satu peran pembantu di film99 Cahaya Di Atas Langit Eropa. Dian Pelangi adalah generasi terbaru desainer hijab, aktif menulis blog dan buku, giat mempromosikan produk-produk kecantikan bagi muslimah, dan sering berjalan-jalan (lebih suka disebut "travel") ke luar negeri.

Walau dalam film ini tokoh yang diperani Dian Pelangi tidak penting bagi cerita (dan dimainkan secara tak meyakinkan karena skenario lemah dan kemampuan akting Dian yang di bawah pas-pasan), ia penting bagi latar dan definisi pasar film ini. Kehadirannya adalah sebagai daya tarik pasar yang dibayangkan intinya adalah kaum hijabers di seluruh Indonesia. Dian juga, bersama banyak desainer hijab lain, dikerahkan untuk memberi tampilan (lookfashionable di sekujur film. Sebuah daya tarik lain bagi pasar yang didefinisikan berintikan kaum hijabers.
Dan rupanya, sasaran pasar tersebut berhasil dicapai. Film 99 Cahaya di Langit Eropa bagian 1 meraih 1,1 juta penonton bioskop pada 2013. Tentu saja, kita bisa bertanya, apa benar sebanyak itu kaum hijabers di Indonesia? Tanpa data statistik yang pasti pun, saya menduga jawabannya tidak. Tapi, justru itulah menariknya.
Kaum hijabers seperti diwakili Dian Pelangi, juga Hanum Rais sang penulis buku 99 Cahaya di Langit Eropa yang tampil bersama Dian Pelangi, sebetulnya semacam muara dari konstruksi Islam sebagai gaya hidup yang telah berkembang terutama sejak 1990-an. Pada saat angin politik rezim Soeharto jadi condong kepada Islam waktu itu, kaum muslim kelas menengah kota menemukan keleluasaan dalam memilih ekspresi simbolik keislaman mereka.
Relatif tak ada lagi hambatan psikologis yang terlalu mencemaskan untuk mengekspresikan simbol-simbol identitas Islam yang dianggap sesuai syari'ah kepada publik, seperti janggut panjang, kecerewetan terhadap makanan halal, shalat di tempat umum atau tempat kerja, gaya berbahasa yang banyak menggunakan kata-kata Arab, dan pakaian seperti jilbab. Islam dikonstruksi sebagai sebuah "gaya hidup", tepatnya: gaya hidup Islami.
Dalam konstruksi tersebut, hal-hal yang berhubungan dengan penampilan, yang bersifat permukaan (simbolik) dari keberagamaan menjadi lebih penting daripada aspek-aspek batin, asketisme (kezuhudan atau keugaharian), dan filosofis dalam keberagamaan. Konstruksi Islam sebagai gaya hidup bisa dibedakan dari konstruksi Islam sebagai sistem etik seperti yang diusulkan oleh Nurcholis Madjid, atau Islam sebagai ideologi revolusi sosial-politik seperti yang diusulkan oleh berbagai gerakan Islam di dunia.
Konstruksi pemahaman Islam sebagai gaya hidup memiliki kecocokan (afinitas) tinggi dengan sistem ekonomi kapitalistik bercorak ekonomi konsumsi seperti yang dianut oleh Amerika Serikat dan Jepang. Ajaran-ajaran kebatinan Islam, misalnya, menjadi tidak sepenting atau harus menyesuaikan diri dengan ajaran-ajaran yang mendukung pencapaian kemakmuran ekonomi pribadi.
Misalnya, ajaran bahwa "dalam Islam, boleh menjadi kaya" dengan merujuk pada fakta sejarah Nabi Muhammad SAW adalah pedagang yang sukses sebelum jadi Nabi, atau sahabat yang sukses secara ekonomi seperti Abdurrahman bin 'Auf. Rujukan terseleksi tersebut lebih diutamakan daripada rujukan terhadap sosok asketis yang tegas semacam Umar bin Abdul 'Azis atau Abu Zhar yang lurus, anti gaya hidup berlebihan, antikorupsi, dan non-kompromis. Dengan keteladanan atau perujukan selektif tersebut, ekspresi simbolik kemakmuran tidak perlu terganggu keabsahannya.
Dan konstruksi itu mudah kita lihat dalam pertumbuhan gaya hidup, dan industri, hijab. Tubuh perempuan menjadi medan perebutan ekspresi simbolik dalam konstruksi Islam sebagai gaya hidup. Di tahap pertama, kewajiban memakai jilbab atau hijab menjadi ekspresi simbolik kehadiran Islam dalam diri seseorang maupun dalam sebuah masyarakat. Di tahap ini, ada serangkaian tata perilaku yang diharapkan ada pada para pemakai jilbab agar memenuhi kelayakan sebagai seorang "perempuan sholihah".
Di tahap selanjutnya, sebagian kaum perempuan berjilbab mengekspresikan kepribadiannya melalui kemampuan tampil modis. Menjadi bagian dari komunitas hijabers adalah salah satu contoh terkini ekspresi kepribadian perempuan muslimah dalam konstruksi pemahaman Islam sebagai Gaya Hidup. "Tampil modis" di sini, dalam praktik, adalah memakai dan mengonsumsi produk-produk industri hijab, industri kecantikan, dan industri fashion umum (misalnya, tas bermerk dari Paris –lagipula, apakah sudah ada tas perempuan dari brand yang Islami?).
Semakin modis dan kemilau gaya pakaian seorang hijabers, semakin dekat ia dengan ideal-ideal sukses pribadi atau sosok pribadi makmur. Dan itu, dikonstruksi sebagai memberi gengsi atau kebanggaan terhadap Islam. Dalam konstruksi demikian, bisa kita pahami mengapa film 99 Cahaya di Langit Eropa menekankan tampilan yang serba stylish dari para pemeran maupun latar tempat cerita yang selalu di lokasi-lokasi turistik utama Eropa sebagaimana yang ditawarkan oleh paket-paket wisata biro travel di Indonesia.
Dan mengapa, di dalam latar Eropa yang mengagumkan dari sudut pandang turis tersebut, dan melalui sosok-sosok yang serba ganteng dan cantik itu, tema yang muncul adalah "kebanggaan Islam" serta bagaimana kebanggaan yang terkonstruksi di Eropa tersebut membawa tokoh Hanum (dimainkan oleh Acha Septriasa dengan gaya sinetron seperti biasa) memakai jilbab di Istambul, Turki. Dalam konstruksi ini, kaum hijabers menjadi lapis depan dari aneka lapis kaum muslim Indonesia yang menganut konstruksi Islam sebagai gaya hidup.
Dan itulah daya tarik utama film 99 Cahaya di Langit Eropa ini: film ini menampilkan sebuah imajinasi Islam yang cocok dengan waham sukses pribadi yang lahir dari sebuah sistem kapitalisme tahap lanjut dalam corak ekonomi konsumsi di Indonesia. Dengan kata lain, banyaknya penonton film ini bisa jadi (walau perlu penelitian empirik yang sayangnya di luar jangkauan penulis) menandakan adanya dambaan yang luas terhadap gaya hidup tersebut.

Nalar Kekalahan
Baiklah, kita perhatikan sedikit lebih jauh soal latar tempat, dan bagaimana itu mencerminkan konstruksi pemahaman Islam sebagai Gaya Hidup dalam film ini. Latar kota Vienna di film ini didominasi oleh ruang-ruang besar dan jalan-jalan utama yang biasa dikunjungi atau dikagumi turis luar Austria. Ibaratnya, Vienna (atau dalam bahasa Indonesia, Wina) dalam film ini tampil sebagai kota kartu pos –kota wisata yang lazim terlihat di foto-foto kartu pos. Perlakuan yang sama terjadi pada Paris (menara Eiffel, Arc de Triomphe, museum Louvre), Kordoba di Spanyol, dan Istambul di Turki.
Dengan nada kagum yang sebetulnya stereotipikal dari para turis dunia berkembang dalam menatap Eropa, narasi dari tokoh Hanum Rais mengiringi kunjungan-kunjungannya ke lokasi-lokasi tersebut. Ia mendampingi suaminya, Rangga (dimainkan dengan baik oleh aktor berbakat Abimana Aryasatya, walau materi skenario di film ini yang sering tampak membatasi pengembangan akting Abimana) yang kuliah Ph.D. di Wina, Austria.
Dari karakterisasi ini kita bisa menyimpulkan pasangan muda ini sedang menapaki jalur sukses. Apalagi tak pernah tampak jelas apa sebetulnya dipelajari Rangga di Wina –seakan pergulatan keilmuan Rangga tak sepenting status Rangga sebagai mahasiswa Ph.D. dan murid kebanggaan profesornya.
Sebagai orang asing yang mengunjungi sebuah peradaban tua dan (terasa) besar, film ini menggambarkan Hanum dan Rangga harus selalu menyesuaikan diri. Yang terutama bermasalah tentu saja identitas Islam keduanya. Persoalan asal-usul Indonesia keduanya kecil saja (misalnya, soal bau ikan asin yang dimasak Hanum membuat tetangga apartemennya marah-marah), tapi selalu ada masalah soal keislaman keduanya: soal makanan halal, soal waktu dan tempat shalat, dan soal prasangka orang-orang Eropa terhadap agama mereka …dan, tentu saja, soal pakaian jilbab.
Dalam konstruksi cerita ini, orang-orang asing (yakni orang-orang non-Islam) yang terlibat dengan hidup Rangga-Hanum di Eropa, tampil dalam tiga model utama:
Adegan dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa
Adegan dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa

  1. Orang asing yang menekan, biasanya otoritatif. Misalnya, tokoh Profesor Reinhart yang jadi pembimbing Rangga. Tokoh ini beberapa kali menyulitkan mahasiswanya yang muslim, Rangga dan Khan (diperani Alex Abbad), melaksanakan ibadah mereka seperti sholat Jumat. Karakter serupa juga terlihat dari tokoh-tokoh figuran yang mem-bully para tokoh muslim di film ini di restoran atau jalanan. Atau satpam masjid yang telah jadi katedral di Kordoba yang melarang muslim sholat di tempat itu. Juga satu tokoh anak kecil, Leon, yang menekan Ayse, anak Fatma Pasha, karena Ayse memakai jilbab.  
  2.  Orang asing yang menggoda. Sosok ini tentu saja diwakili oleh Maarja (diperani Marissa Nasution) yang mengagumi, mendekati, dan memang tersirat menyukai Rangga. Maarja pula yang memberi drama pada rumah tangga Rangga-Hanum karena jadi pasangan dansa di sebuah pesta ballroom yang konon sebuah acara sangat eksklusif bagi para elite di Wina.
  3. Orang asing yang konyol. Tentu saja ini diwakili oleh tokoh Stefan (diperani Nino Frenandez) yang atheis. Dalam film, Stefan tampil konyol dalam arti segala pertanyaan dan argumen-argumennya tentang agama, Islam, dan atheis selalu tampak bodoh dan kekanakan. Fungsinya memang jadi comic relief (pelepas tawa), tapi yang lelucon itu selalu dalam bingkai menertawakan Stefan.
Benang merah yang menyamakan mereka adalah semua digambarkan tidak memahami Islam. Salah paham itulah yang jadi pangkal tindakan mereka yang menekan, merayu, atau konyol. Sementara semua tokoh muslim di film ini, dari pasangan Hanum-Rangga hingga Khan, Fatma Pasha (dimainkan oleh Raline Shah) dan anaknya, dan para ibu rumah tangga Turki yang diperani Dian Pelangi dan Hanum Rais "asli", digambarkan sebagai korban kesalahpahaman serta selalu dalam misi mencerahkan orang-orang Eropa itu.
Satu-satunya tokoh keturunan Eropa yang memahami Islam di film ini, Marion Latimer (diperani Dewi Sandra), digambarkan sebagai orang Prancis yang bekerja sebagai sejarawan, dan dia masuk Islam serta memakai jilbab (yang modis). Seakan-akan, dalam imajinasi Islam di film ini, jika saja orang Eropa memahami Islam, maka mereka akan masuk Islam.
Ini adalah narasi yang lahir dari sebuah, saya sebut saja, nalar kekalahan. Muslim dan Islam di Eropa dalam film ini (dan buku yang jadi sumber film ini) digambarkan sebagai pihak yang hampirmenaklukkan Eropa lewat perang, tapi lantas gagal dan kalah. Narasi ini dibangun di bagian pertama film, dengan memunculkan sosok tokoh sejarah dari Turki, Kara Mustapha Pasha. Ia seorang jenderal Turki yang hampir saja berhasil menduduki jantung Eropa di Wina beberapa abad lalu, tapi gagal. Ia dihukum mati, dan salah seorang keturunannya, Fatma Pasha yang jadi sahabat Hanum, kembali ke Eropa.
Fatma menjadi simbol pendekatan baru yang membedakan diri dari kakek moyangnya, Kara. Tersurat dalam film ini, Fatma menganggap pendekatan perang Kara lah yang menyebabkannya gagal menaklukkan Eropa. Fatma ingin menaklukkan Eropa, setidaknya orang-orang Eropa yang ia jumpai, dengan pendekatan damai. Tapi, perhatikan, hasratnya sama: menaklukkan.
Abimana Aryasatya dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa
Abimana Aryasatya dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa
Hasrat ini tampak dalam cara Rangga menghadapi berbagai "kesalahpahaman" orang Eropa terhadap Islam di dalam film ini yang mirip cara Fatma. Ia menggunakan cara damai, dalam arti: selalu berkompromi, dan selalu menghindari konflik. Tapi dalam satu adegan, tampak hasrat penaklukan itu: Rangga azan di menara Eiffel. Baik di buku maupun di film, adegan ini dirancang agar terasa ikonik. Namun dalam film, adegan ini menjadi lebih tajam menguar hasrat penaklukan itu karena cara visualisasinya.

Begitu Rangga azan, kamera lantas bergerak ke lanskap kota Paris nan Permai, lalu suara azan itu mendapatkan efek peningkatan volume plus gema, sehingga terasa lah bagi penonton bahwa azan itu membungkus kota Paris dalam sebuah suasana syahdu. Mau tak mau, terbaca di situ sebuah angan-angan akan "indahnya Paris/Eropa jika bisa terdengar azan ke seluruh kota".
Dari angan-angan itu, kita lanjut dibawa pada perjuangan Rangga menggapai kebanggaan. Dan caranya adalah dengan masuk, serta menjadi terhormat, di dalam life style elite di Wina. Ia ikut serta dalam acara dansa bergengsi itu, memakai kemeja tuksedo, berdansa dengan Maarja sebagai murid kebanggaan profesor Reinhart, atas restu Hanum yang menekankan betapa membanggakannya undangan dansa itu. Dan Rangga pun lulus, serta menyampaikan pidato mewakili mahasiswa, ke publik kampus yang menatap kagum serta bertepuk tangan meriah.
Boleh dibilang, Rangga menggapai sukses, mencapai keberhasilan yang membanggakan dalam perjuangan di ranah gaya hidup itu. Perjuangan gaya hidup Rangga-Hanum berjalin dengan model kebanggaan lain yang ditawarkan oleh Fatma dan Marion: yakni melalui tafsir (atau, bisa juga disebut manipulasi) sejarah Eropa.
Fatma mengenalkan Eropa pada Hanum sebagai sebuah wilayah yang menyimpan kekayaan sisa kejayaan Islam. Marion membawa Hanum ke museum Louvre untuk melihat bahwa dalam lukisan Bunda Maria karya Ugolino de Nerio, tampak pula jejak Islam di situ. Lalu Hanum dan Rangga berdiri di Eiffel dan Arc du Triomphe dan menatap jalur Champs-Élysées sebagai jalur lurus yang dalam lanjutan garis imajinernya langsung menuju Mekkah.
Semua "fakta sejarah" itu tentu saja hanya sekelas utak-atik gathuk atau main mencocok-cocokkan. Dalam bukunya, tak ada penguat klaim-klaim tersebut. Dalam filmnya, sama saja: semua terbangun dari ucapan-ucapan Fatma dan Marion. Tapi, jika sudah dalam bingkai kamera, penonton tentu lebih mudah dibujuk untuk percaya bahwa itu telah terbukti sebagai "fakta". Dan konstruksi "sejarah" itu diperlukan dalam membangun kebanggaan muslim terhadap Islam.
Seperti narasi Hanum sendiri, bahwa perjalanannya ke Eropa telah membuatnya tambah bangga akan Islam. Kebanggaan yang terasa semakin diperlukan, saat Hanum merasa tertindas oleh kekalahan historis Islam di Kordoba, dalam bentuk pengubahan masjid Mezquita jadi katedral. Hanum tergetar oleh kebesaran dan bangunan mewah bekas masjid Kordoba itu, sehingga dia tertunduk sujud di lantainya. Segera saja kaki satpam mendekat, dan Hanum dimarahi, dibentak, dilarang shalat di situ.
Saat dimarahi satpam Kordoba, Hanum menentang, menggugat kenapa pengunjung muslim dilarang sujud atau sholat di tempat yang dulunya lambang kejayaan Islam di Spanyol itu. Rangga, sebagai model pendekatan kompromis, memisahkan, minta maaf pada satpam, dan membawa pergi Hanum. Di sebuah restoran, Hanum masih tak terima soal pelarangan sujud atau sholat di bekas masjid Kordoba itu. Hatinya baru terasa enak saat berjumpa seorang satpam masjid yang galak, dan menraktir si satpam itu.
Adegan mentraktir orang Eropa yang tak mau paham muslim dua kali terjadi, pertama kali oleh Fatma. Tindakan itu dilabeli sebagai contoh menjadi "agen muslim yang baik". Jadi, dalam konstruksi cerita ini, agen muslim yang baik bisa dalam bentuk membayari orang Eropa. Atau dengan melakukan perilaku lain yang sifatnya membanggakan, dan menerapkan prinsip "tangan di atas". Seperti Khan membantu Stefan di rumah sakit, sehingga meluluhkan hati Stefan (walau, mungkin karena "kebodohan" Stefan, tak sampai membuat Stefan masuk Islam).
Yang tak dimasalahkan dalam film ini adalah berapa biaya untuk menjadi "agen muslim yang baik" itu?
Adegan dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa
Adegan dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa
Dalam konstruksi Islam sebagai gaya hidup, penting untuk mencapai sukses dan kebanggaan. Itulah perjuangan gaya hidup: mencapai kemakmuran, dan posisi elite. Terasa sangat penting mencapai itu, mengambil bentuk perjuangan gaya hidup itu, karena kuatnya penalaran sebagai umat dan peradaban yang kalah di hadapan Eropa.

Dalam Nalar Kekalahan ini, seorang muslim mendefinisikan identitas keislamannya berdasarkan perasaan menjadi korban, dan terpaksa harus bersabar menyesuaikan diri dengan dunia Sang Penakluk, agar bisa mengalahkan Sang Penakluk dalam permainan mereka sendiri.
Nalar Kekalahan juga bisa membawa pada pilihan bentuk perlawanan yang sifatnya konfrontatif, konfliktual, kalau perlu kekerasan. Jenis perlawanan yang dengan gampangan bisa dikategorikan sebagai "terorisme". Itulah yang ditepis film ini, dengan adegan pembuka kilas balik masa kanak Khan di Pakistan, saat ia diajak teman-temannya untuk belajar jadi mujahid pada para Taliban. Ayah Khan memarahi Khan kecil dan memintanya berjihad lewat ilmu.
Film ini mengidealkan pendekatan Rangga. Ia digambarkan selalu menyabarkan Khan yang masih sering dipenuhi kemarahan dalam melawan kekalahan di hadapan Eropa itu. Rangga mengedepankan retorika perdamaian, melalui argumen-argumennya (yang sebetulnya sering terasa sangat menggurui dan menganggap bodoh pihak lain) kepada Stefan, Maarja, dan profesor Reinhaart.
Retorika "perdamaian" dalam Nalar Kekalahan yang tergambar di film ini jadinya tak lebih sebuah siasat untuk mencari bentuk-bentuk penaklukan yang paling mungkin dicapai dalam posisi sebagai korban dan kaum terpinggirkan itu. Bagi Rangga dan Hanum, penaklukan yang paling mungkin adalah dengan memenangi medan gaya hidup modern. Dengan menjadi sukses.
Walau, dalam konstruksi pemahaman tersebut, sukses itu bersifat pribadi dan kemenangannya bersifat simbolik. Sebuah angan-angan kemenangan yang sebetulnya cocok sekali dengan kepentingan sistem ekonomi konsumsi mempertahankan keberadaannya. ***